Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP), Ditjen Cipta Karya menyelenggarakan Workshop Pengelolaan Lumpur Tinja, Selasa (9/4) di Jakarta. Worshop tersebut mengangkat tema “Bersama Meningkatkan Kualitas Pengelolaan Lumpur Tinja.” Diskusi diisi dengan narasumber perwakilan dari IUWASH, WSP dan USDP.
Penyediaan prasarana dan sarana sanitasi (air limbah, persampahan dan drainase) merupakan prioritas pemerintah. Sektor sanitasi juga salah satu target MDGs yakni mengurangi separuh penduduk yang belum mendapatkan akses air limbah yang aman dan berkelanjutan pada 2015. Pemenuhan prasarana dan sarana sanitasi sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi regional.
“Saat ini hanya 0,5 persen dari total penduduk Indonesia yang pengelolaan air limbahnya dilayani dengan sistem terpusat. Sementara mayoritas masyarakat masih menggunakan prasarana air limbah setempat yakni septik tank,” ujar Djoko Mursito.
Data BPS Tahun 2011, persentase masyarakat Indonesia yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak yaitu jamban dengan leher angsa dan tangki septik sebesar 55,60%. Pencapaian akses tahun 2011 hanya meningkat 0,06% dari tahun 2010. Padahal investasi yang telah dilakukan oleh Kementerian PU untuk peningkatan akses terhadap sanitasi sudah cukup besar.
Septik tank yang dimiliki masyarakat diharapkan telah memenuhi standar, namun masih banyak yang belum memenuhi syarat. Salah satunya, septik tank harus kedap air yang memerlukan penyedotan lumpur tinja setiap 2 – 3 tahun sekali. Dengan demikian tidak mencemari air tanah sebagai air baku.
“Saat ditanya mengenai penyedotan lumpur tinja, masyarakat kerap mengatakan bahwa aman. Maksudnya adalah lumpur tinja tidak mampet dan tidak penuh selama bertahun-tahun. Padahal yang demikian bahaya karena limbah tinja menyerap ke dalam tanah,” tegas Djoko Mursito.
Penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan lumpur tinja yakni penyediaan truk tinja. Sedangkan penyediaan prasarana pengolahan lumpur tinja dikenal dengan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) harus dilengkapi dengan institusi pengelola dan regulasi pendukung di masing – masing kabupaten/kota. Selain itu, ketersediaan dana untuk pengelolaan dan pemeliharaan prasarana terbangun juga diperlukan. Sehingga keberlanjutan pengelolaan lumpur tinja di kabupaten/kota terjamin.
Sekitar 150 IPLT tersebar di 33 Provinsi di Indonesia. Namun, lebih dari 90 % yang belum beroperaasi secara optimal. Penyebabnya adalah desain yang melebihi kapasitas, kurang atau tidak adanya lumpur tinja yang masuk ke IPLT untuk diolah. Tidak ada institusi pengelola, dan tidak adanya dana untuk operasi dan pemeliharaan prasarana tersebut. (ind)
Pusat Komunikasi Publik
sumber : http://www.pu.go.id/main/view/8401
Penyediaan prasarana dan sarana sanitasi (air limbah, persampahan dan drainase) merupakan prioritas pemerintah. Sektor sanitasi juga salah satu target MDGs yakni mengurangi separuh penduduk yang belum mendapatkan akses air limbah yang aman dan berkelanjutan pada 2015. Pemenuhan prasarana dan sarana sanitasi sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi regional.
“Saat ini hanya 0,5 persen dari total penduduk Indonesia yang pengelolaan air limbahnya dilayani dengan sistem terpusat. Sementara mayoritas masyarakat masih menggunakan prasarana air limbah setempat yakni septik tank,” ujar Djoko Mursito.
Data BPS Tahun 2011, persentase masyarakat Indonesia yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak yaitu jamban dengan leher angsa dan tangki septik sebesar 55,60%. Pencapaian akses tahun 2011 hanya meningkat 0,06% dari tahun 2010. Padahal investasi yang telah dilakukan oleh Kementerian PU untuk peningkatan akses terhadap sanitasi sudah cukup besar.
Septik tank yang dimiliki masyarakat diharapkan telah memenuhi standar, namun masih banyak yang belum memenuhi syarat. Salah satunya, septik tank harus kedap air yang memerlukan penyedotan lumpur tinja setiap 2 – 3 tahun sekali. Dengan demikian tidak mencemari air tanah sebagai air baku.
“Saat ditanya mengenai penyedotan lumpur tinja, masyarakat kerap mengatakan bahwa aman. Maksudnya adalah lumpur tinja tidak mampet dan tidak penuh selama bertahun-tahun. Padahal yang demikian bahaya karena limbah tinja menyerap ke dalam tanah,” tegas Djoko Mursito.
Penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan lumpur tinja yakni penyediaan truk tinja. Sedangkan penyediaan prasarana pengolahan lumpur tinja dikenal dengan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) harus dilengkapi dengan institusi pengelola dan regulasi pendukung di masing – masing kabupaten/kota. Selain itu, ketersediaan dana untuk pengelolaan dan pemeliharaan prasarana terbangun juga diperlukan. Sehingga keberlanjutan pengelolaan lumpur tinja di kabupaten/kota terjamin.
Sekitar 150 IPLT tersebar di 33 Provinsi di Indonesia. Namun, lebih dari 90 % yang belum beroperaasi secara optimal. Penyebabnya adalah desain yang melebihi kapasitas, kurang atau tidak adanya lumpur tinja yang masuk ke IPLT untuk diolah. Tidak ada institusi pengelola, dan tidak adanya dana untuk operasi dan pemeliharaan prasarana tersebut. (ind)
Pusat Komunikasi Publik
sumber : http://www.pu.go.id/main/view/8401