Segudang Prestasi, Hannah Debora Duta Sanitasi 2010

sigerus
0
Terbit Buku Pertamanya. SEBUAH buku kumpulan soal-soal olimpiade tingkat sekolah dasar bersampulkan lukisan burung jalak Bali yang bertengger di pohon, dan angka-angka terpajang rapi di meja ruang tamu rumah Hannah Debora (12). Antara sampul dan isi buku tersebut memang tak ada korelasinya. Isi buku tersebut tak menceritakan kehidupan jalak Bali seperti yang terlukis di sampul. Buku tersebut lebih banyak berisi kumpulan soal-soal matematika sebagai persiapan siswa menghadapi olimpiade. Namun, ada makna khusus mengapa penulis buku itu membubuhkan lukisan cantik di sampul bukunya. Buku itu merupakan karya perdana Hannah Debora. Sejatinya, Hannah telah menulis lima buah buku. Empat berisi kumpulan soal-soal Olimpiade Matematika, dan satu terkait jalak Bali. Namun, baru satu buku kumpulan soal-soal olimpiade yang bisa ia terbitkan.

Tak ada teman-temannya yang menyangka, Hannah bisa menulis buku. Maklum, gadis cilik itu lebih dikenal berprestasi di bidang melukis. Karya lukisannya telah memberinya seabrek penghargaan, salah satunya meraih Juara I Lomba Melukis Lingkungan dalam Pekan Olahraga dan Seni Pelajar tahun 2009. Lukisannya berjudul ”Melepas Penyu” juga terpilih menjadi juara I se-Bali lomba melukis dalam rangka Hari Bumi yang digelar Pemerintah Provinsi Bali tahun 2006. Tampaknya, lukisan tersebut menarik minat para pengunjung yang datang dalam lomba tersebut. “Lukisan Hannah dibeli salah seorang pengunjung. Hasil penjualan, Hannah sumbangkan kepada korban gempa di Yogjakarta tahun 2006,” ungkapnya.

Tak mengherankan jika Hannah menjadi anak yang piawai melukis. Mamanya, Ni Ketut Ayu Sri Wardani, pelukis kebanggaan Bali. Bakat mamanya itu, menurun kepada kedua putrinya, Hannah dan kakak Hannah, Puteri Delphia Ester. Bahkan kini, papanya, Erland Sibuea, ikut kepincut kegiatan melukis.

Orang yang berkunjung ke rumah mungil Hannah akan dibuat kagum terhadap berbagai ragam lukisan yang terpajang di ruang tamu rumahnya. Lukisan karya Hannah dan keluarganya terpajang di situ. “Lukisan kami memiliki banyak pesan. Lukisan milik Hannah lebih banyak menampilkan pesan lingkungan hidup. Kami ingin pesan ini sampai ke masyarakat,” kata mama Hannah, Ayu Sri Wardani. Kemampuan Hannah dalam melukis tetap ia gelorakan hingga kini. Bahkan, prestasi lain yang ia miliki mampu ia gabungkan dengan kegemarannya melukis dan menari. “Hannah gemar menari tarian Jalak Bali. Hannah juga suka melukis dan pelajaran matematika,” tuturnya.

Buku Kumpulan Soal Olimpiade Matematika itu bisa menjadi media menggabungkan seluruh potensi diri Hannah. Hal itu juga sebagai salah satu cara gadis cilik kelahiran Bandung, 8 Juli 1998, ini menyampaikan pesan-pesannya tentang penyelamatan lingkungan hidup agar bisa sampai kepada masyarakat.

Menurut Hannah, menulis buku kumpulan soal-soal olimpiade awalnya tak ia sengaja. Buku yang ia tulis merupakan kelanjutannya dari keberhasilannya ikut Olimpiade Matematika tahun 2009. “Setelah berhasil menjadi juara I tingkat Kota Denpasar dan kemudian tingkat Provinsi Bali dalam Olimpiade Matematika, Hannah menjadi wakil Bali ke tingkat nasional dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Jakarta,” katanya. Untuk bisa bersaing di tingkat nasional, Hannah menyiapkan diri dengan mengumpulkan beragam soal olimpiade. Soal-soal itu tak sertamerta Hannah selesaikan dengan jawaban yang benar, namun Hannah juga mengembangkannya menjadi berbagai jenis soal dengan berbagai jawaban. “Satu soal bisa Hannah kembangkan menjadi lima hingga 10 soal,” kataya.

Hasilnya, Hannah mampu membuat 400 soal dari pengembangan soal-soal matematika yang diberikan guru pembinanya. “Timbullah ide, membukukan soal-soal yang Hannah kembangkan. Dari 400 soal, menjadi empat buah buku. Satu buku telah terbit. Tiga buku lainnya masih dalam proses penerbitan,” katanya.

Usaha kerasnya membuahkan hasil. Hannah tak hanya bisa menerbitkan buku, ia juga berhasil teratat di Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai ‘Usia Muda 11 Tahun Mampu Membuat Kumpulan Soal Matematika Olimpiade dan Penyelesaiannya untuk Tingkat SD’ tahun 2009. Dalam ajang Olimpiade Sains Nasional, Hannah berhasil memperoleh medali perak. Hebatnya, Hannah Debora tak hanya berprestasi di tingkat ASEAN. Siswa SMPN 1 Denpasar ini juga menempati juara II dalam lomba duta sanitasi se-Bali serta juara III lomba penelitian iptek

HASIL KARYA FILM DOKUMENTER HANNAH DEBORA

Film Dokumenternya Raih Medali Perak. HANNAH DEBORA (12) sudah mampu mendulang prestasi di banyak bidang kegiatan. Uniknya, di tiap karya yang ia ciptakan tak pernah lepas dari isu lingkungan. Hannah menuturkan, ia peduli terhadap masalah lingkungan sejak kelas II SD.

Saat itu, kakaknya, Puteri Delphia Ester, berhasil pergi ke Jepang berkat prestasinya melukis tentang lingkungan. “Hannah merasa ikut bangga melihat Kakak bisa mendapatkan hadiah yang luar biasa. Pergi ke Jepang dan tentunya bisa ikut mengampanyekan pesan-pesan lingkungan hidup,” ujarnya. Kebanggaan itulah yang turut memberinya inspirasi sehingga tiap karyanya diupayakan dapat memberi manfaat bagi orang lain.

Bukan hanya karyanya berupa buku kumpulan soal-soal Olimpiade Matematika. Bersama Puteri Delphia Esther, Hannah juga menciptakan film dokumenter berjudul “Jangan Biarkan Kami Punah” yang mengangkat kehidupan jalak Bali. Film dokumenter dengan durasi waktu lima menit tersebut menjadi bukti bahwa karya Hannah telah diakui secara nasional. Karyanya itu bisa meraih medali perak dalam ajang bergengsi yang digelar Panasonic Award tahun 2008. Yang lebih membuat siswa kelas 1 SMPN 1 Denpasar ini senang, ajang itu bisa memberinya kesempatan menyosialisasikan keberadaan jalak Bali yang hampir punah di habitat asalnya, Bali.

Sebagai warga Bali, Hannah memang mencintai jalak Bali. Ini berawal dari kegemarannya menarikan tarian Jalak Bali. Keingintahuannya terhadap objek tarian itu makin besar. Inilah yang mendorong Hannah giat mempelajari jalak Bali lewat buku maupun internet. Perlombaan yang diusung Panasonic Award tahun 2008 yang mengangkat tema ’lingkungan hidup’ itu memberi kesempatan Hannah lebih banyak lagi untuk mempelajari kehidupan burung jalak Bali.

Saat itu, Hannah Debora baru duduk di kelas V Sekolah Dasar Kristen Harapan. Ada pengumuman dari pihak sekolahnya tentang adanya lomba pembuatan film dokumenter terkait lingkungan hidup. Hannah yang menyukai bidang lingkungan, tertarik. Hannah tak bisa bekerja sendiri. Syarat lomba, tiap kelompok terdiri atas dua hingga 10 orang. “Teman sekelas Hannah tak ada yang mau ikut. Karena Hannah sekolah di lembaga pendidikan yang sama dengan Kakak, akhirnya kami bekerja sama,” ungkapnya.

Sebuah cerita tentang jalak Bali pun ia tulis di lembaran kertas. “Syukur, story line yang Hannah buat masuk nominasi,” katanya. Kakaknya mewakili ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan tata cara pembuatan film dan pengeditan.

Dua bulan, Hannah dan Putri menggarap film dokumenter berjudul “Jangan Biarkan Kami Punah” itu. Tiga hari mereka gunakan berkunjung ke Taman Nasional Bali Barat yang merupakan tempat penangkaran burung jalak Bali. “Kami melakukan pengambilan gambar di taman nasional itu,” katanya. Beruntung, kampung kelahiran mamanya, Ni Ketut Ayu Sri Wardani, Belimbingsari, Jembrana, sehingga mereka tak perlu susah mencari tempat menginap. Bak seorang reporter, Hannah berceloteh menjelaskan tentang kehidupan jalak Bali yang makin langka. Kakaknya berperan sebagai juru kamera.

“Proses pengeditan yang membuat proses penggarapan film ini sedikit tersendat. Proses penggarapan dua bulan, namun durasi film hanya lima menit,” tutur mamanya. Namun, kerja keras sepasang kakak adik itu membuahkan hasil. Film dokumenter “Jangan Biarkan Kami Punah” hasil karya mereka, berhasil menggondol medali perak.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)