Jangan Biarkan Sampah jadi Bencana

sigerus
0
Masalah sampah tidak hanya se­kadar bagaimana mengolah atau me­nge­lola sampah saja, tetapi juga ter­kait de­ngan masalah budaya/so­sio­logi ma­sya­rakat. Masyarakat Indonesia u­mum­nya tidak peduli tentang sampah, su­ka buang sampah sembarangan, dan cen­derung mementingkan diri sendiri. Pa­radigma yang salah ini mungkin me­ru­p­a­kan salah satu penyebab kenapa ba­nyak program tentang sampah yang ti­dak berhasil. Mengubah paradigma ma­syarakat tentang sampah menjadi sa­lah satu bagian yang tidak ter­pi­sa­h­kan dari upaya-upaya penanganan sam­pah secara terpadu yang lebih iro­nis­nya masyarakat sekarang ini tidak la­gi menghargai jasa sampah, yang te­lah mengantarkan manfaat untuk di­ri­nya (habis manis sampah dibuang). Ke­mu­dian orang kebanyakan selalu lu­pa untuk berterima kasih kepada alam se­kitar yang telah memberikan manfaat ba­gi kehidupan ini.

Contoh sederhana saja. Di sebuah lahan terdapat patok dengan pe­ngu­mu­man yang sangat mencolok: DILA­RANG BUANG SAMPAH DI SINI. Pa­da kenyataannya masih banyak orang yang membuang sampah di tempat itu. Atau larangan-larangan senada lain­nya, seperti: DILARANG MEMBUANG SAM­PAH DI SUNGAI, BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA, YANG BUANG SAMPAH DI SINI SETAN. Pengumuman-pengumuman itu se­per­ti hanya sebuah tempelan kosong tanpa arti, seperti macan tak punya gigi, tidak ada orang yang memperhatikan atau me­matuhi larangan tersebut. Kalau di­bilang kita tak bisa baca, mereka pasti ti­dak akan terima. Yang menjadi per­soa­lannya adalah komitmen.

Contoh lain, pemerintah atau lem­baga-lembaga lain sudah cukup lama me­nyediakan tiga tempat sampah yang berbeda. Satu tempat sampah untuk limbah plastik atau logam, satu tempat sampah untuk limbah kertas, dan satu lagi tempat sampah untuk limbah organik. Tulisannya dibuat besar sekali, warnanya menyolok, dan masih terbaca dengan jelas dari jarak yang cukup jauh. Warnanya pun dibuat berbeda-beda. Masalahnya sekarang, apakah war­ga atau masyarakat sudah mem­buat sampah sesuai dengan tempatnya. Ja­wa­bannya adalah tidak. Mereka mem­buang sampah semaunya sendiri tan­pa memperhatikan tulisan-tulisan ter­se­but. Dalam konteks ini masalah yang sangat prinsip adalah pe­ma­ha­man masyarakat tentang dampak ling­ku­ngan bagi kelangsungan hidup be­lum lagi memadai.

Pemerintah juga sudah mencoba membuat perda tentang sampah yang akan menghukum orang yang mem­buang sampah sembarangan. Salah sa­tu­nya denda Rp 50 ribu untuk orang yang ketahuan membuang sampah sem­barangan. Apakah perda ini pernah diberlakukan? Sudahkah ada orang yang didenda karena membuang sam­pah sembarangan? Jawabannya kita su­dah tahu semuanya. Perda ini cuma seke­dar tulisan di atas kertas, sebagai buk­ti administrasi.

Temukan Akar
Permasalahan

Mengapa larangan-larangan, per­da-perda, atau segala macam him­ba­uan seperti tidak pernah dihiraukan oleh masyarakat? Ini adalah per­ta­nya­an yang sangat mendasar. Mencari ja­wa­ban yang benar dari pertanyaan itu sa­ma pentingnya dengan masalah sampah itu sendiri. Dengan me­nge­ta­hui jawaban yang benar dan tepat, ma­ka akan lebih mudah bagi kita untuk me­rumuskan sebuah rencana tentang pe­ngelolaan sampah.

Mungkin perlu dilaksanakan se­buah survei yang mendalam, sis­te­ma­tis, dan komprehensif tentang perilaku masyarakat berkaitan dengan sampah. Ini bukan pekerjaan sederhana. Saya sen­diri belum pernah membaca ten­tang hasil penelitian tentang perilaku ma­syarakat tentang sampah ini. Saya ber­harap suatu saat ada yang terketuk ha­tinya untuk mencari akar per­ma­sa­la­han tentang sampah ini.

Mendapatkan permasalahan yang benar (sekali lagi benar tidak sama de­ngan betul, karena kebenaran tidak sa­ma dengan kebetulan) adalah lang­kah awal sebelum melangkah ke tahapan be­ri­kutnya. Kalau sudah mendapatkan ma­salah yang benar, separo kerjaan sudah di tangan. Seringkali jawabannya juga menjadi lebih jelas terlihat. So­lu­si­nya lebih mudah diformulasikan. Keuntungan yang lain adalah kita bisa menghemat waktu, biaya, tenaga jika masalahnya sudah jelas. Adalah ke­r­ugian besar jika kita sudah me­nge­luar­kan waktu, biaya dan tenaga yang be­sar, ternyata kita mengerjakan masalah yang salah. Masalah tetap ada. Mes­ki­pun biaya habis, waktu terbuang, dan pi­kiran terkuras. Kata kuncinya ko­mit­men yang masih bermasalah.

Mengubah Paradigma

Se­perti yang sudah saya sampaikan di atas, belum ada kebenaran tentang akar permasalahan sampah di Indonesia. Tetapi sepanjang pengalaman saya me­nggeluti tentang persampahan ini, sa­lah satunya adalah paradigma ma­sya­rakat yang salah tentang sampah. Sam­pah adalah barang/sesuatu yang su­dah tidak ada gunanya sama sekali. Sam­pah adalah bau. Sampah adalah sum­ber bersarangnya berbagai macam pe­nyakit dan stigma-stigma negatif lain­nya.

Mereka tahu kalau membuang sam­pah sembarangan itu tidak baik, te­tapi mereka tetap saja membuang sam­pah sembarangan . Me­­­­­­re­­ka tahu kalau membuang sam­pah di ­sungai bisa menyebabkan aliran su­ngai mampet dan bisa me­nye­bab­kan banjir, tetapi mereka tetap saja mem­buang sampah ke sungai/saluran air. Mereka tahu kalau sampah organik bisa jadi kompos, tetapi mereka engan mem­buat kompos. Mereka tahu kalau sampah se­baik­nya dipisah, tetapi mereka malas me­milah-milah sampah.Dan set­er­us­nya..dan seterusnya…….

Pemerintah sudah mengeluarkan ba­nyak dana untuk berbagai macam program tentang pengelolaan sampah ini. Membangun TPA, membuat tem­pat-tempat sampah, mendatangkan tek­nologi hi-tech dari luar, dan banyak pro­g­ram yang lainnya. Program-program tersebut banyak terfokus pada program-program fisik saja. Sisi non-fisiknya belum banyak disentuh, atau pun kalau ada cuma pelengkap saja.

Padahal masalah ‘non-fisik’ ini tidak kalah penting dibandingkan dengan program-program fisik. Justru ini yang lebih sulit, membutuhkan waktu lama, kontinuitas, dan dana yang tidak sedikit. Merubah sebuah ke­bia­sa­an, budaya, dan paradigma bukan ma­salah sederhana. Tidak cukup hanya satu atau dua tahun saja, harus dila­ku­kan secara terintegrasi, massal dan ber­ke­laj­utan, tanpa terputus.

Oleh karena itu, saya berharap program-program yang berkaitan dengan merubah paradigma dan budaya ma­sya­rakat menjadi program yang tidak ter­pisahkan dari program-program per­sampahan yang digulirkan pe­me­rin­tah. Porsinya juga harus sebanding de­ngan program-program fisik.

Banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan me­ma­suk­kan dalam kurikulum pendidikan, baik mulai dari tingkat TK – sampai Per­guruan Tinggi. Pendidikan me­ru­pa­kan salah satu metode yang sudah teruji un­tuk mengubah budaya secara sis­tematis. Institusi pendidikan se­ha­rus­nya menjadi contoh dalam penerapan pe­ngelolaan sampah yang baik.

Berikutnya adalah imbauan-im­ba­uan melalui media massa, baik elek­tro­nik (TV, radio), maupun media cetak (ko­ran, majalah, buletin, dan lain-lain). Im­bauan ini bisa dalam bentuk iklan la­ya­nan masyarakat. Atau bisa juga di­se­lipkan di iklan-iklan komersial. Tidak ha­rus jelas, pesan bisa disampaikan se­cara tersirat. Pihak media (wartawan) bi­sa menampilkan berita-berita ten­tang akibat buruk membuang sampah sem­barangan. Di sisi lain, ditampilkan ju­ga berita-berita tentang orang-orang yang sudah berhasil mengelola sam­pah. Kalau di media cetak bisa di­tu­lis­kan tentang teknologi pengelolaan sam­pah, pemanfaatan sampah, dan hal lain yang berkaitan dengan itu.

Pemerintah atau institusi terkait lainnya harus ikut dan berkomitmen untuk berperan aktif dalam me­nye­le­sai­kan persoalan sampah, terutama dalam hal peningkatan kapasitas warga ma­syarakat terhadap lingkungan hi­dup­nya,untuk terus membudayakan pola laku ramah lingkungan. Program di­maksud dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan aplikatif dan so­sia­lisasi, pelatihan, pembinaan serta mem­buat media informasi yang me­na­rik perhatian, dan ditempatkan pada lo­kasi yang strategis, dengan tetap mem­pertimbangkan sisi estetika dan ekologi ser­ta effectifitasnya.

Bahan-bahan so­sia­lisasi tersebut disebarkan di tempat-tem­pat umum, masjid-masjid, di da­lam bis kota, kereta, atau tempat-tem­pat strategis lainnya. Program ini juga di­laksanakan secara berkelanjutan (sus­tainable). Setiap tahapan harus di­eva­luasi agar keberhasilan program juga bisa diukur. Perusahaan-per­u­sa­haan besar bisa menyalurkan sebagian da­na CSR-nya untuk program-program ini. Tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga yang non-fisik ini.

Program lain adalah pemberian penghargaan. Penghargaan seperti Piala Adipura atau Kalpataru perlu lebih digalakkan kembali. Selain itu kota-kota yang mendapatkan hadiah Adipura juga mendapatkan dana tam­ba­han untuk program-program pe­nge­lo­laan sampah dan lingkungan. Jum­lah­nya harus cukup besar agar lebih me­narik minat pemerintah daerah. Orang-orang yang sudah berhasil dalam mengelola sampah juga perlu mendapatkan perhatian dan peng­har­ga­an yang besar.

Seiring dengan program-program di atas, penegakkan hukum juga harus di­lak­sanakan dengan tegas. Perda-per­da yang sudah ada dilaksanakan se­cara konsisten. Seiring dengan me­nin­g­kat­nya pemahanam masyarakat tentang sam­pah, hukuman atau denda juga di­te­rap­kan dengan tegas.

Sepertinya kondisi ideal yang hanya ada di negeri dongeng. Jangan terlalu skeptis. Upaya tetap harus dilakukan. Dimulai yang paling mungkin dan paling mudah dilakukan. Dimulai dari diri kita sendiri. Di mulai dari keluarga kita sendiri. Di mulai dari wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali kita,dan dimulai sekarang. Bukan mustahil, negeri impian ini akan terwujud di tanah air ini. Insya Allah.(*)


sumber dikutip : http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=3849
penulis : Sugianto (pengamat lingkungan) 


Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)